Sudah Ada Auditor, Kenapa Terjadi Fraud?

diaz priantaraBBC tanggal 4 Mei 2017 membuat artikel what are auditors for. Tulisan ini muncul sebagai ekspresi publik atas jasa audit terkait dengan adanya skandal akuntansi atau pengenaan denda oleh otoritas pengawas. Tidak tanggung-tanggung, yang dikenakan denda adalah entitas atau perusahaan bereputasi global, misalnya Rolls Royce.

Denda kepada Rolls Royce sebesar GBP671juta merupakan denda terbesar sepanjang sejarah institusi Serious Fraud Office (SFO) di Inggris terkait pemberian suap kepada pejabat eksekutif pembeli produk Rolls Royce. Ekses kasus suap Rolls Royce pun sampai ke Indonesia.

Kasus Rolls Royce dan setiap kasus fraud berdampak kepada auditornya. Pada kasus Rolls Royce, investigasi terhadap KPMG yang menjadi auditor Rolls Royce dimulai. Pertanyaan publik adalah bagaimana auditor dapat menerbitkan laporan atau opini, nyatanya mereka gagal menemukan sesuatu yang salah di dalam tubuh organisasi yang diauditnya.

Baik auditor intern maupun auditor independen melaksanakan tugas rutinnya yaitu melaksanakan assurance atas governance, risk, control (untuk audit intern), dan assurance atas laporan keuangan (untuk auditor independen) tidak bertujuan secara khusus untuk menemukan dan mengungkap fraud. Walaupun berdasarkan standar audit masing-masing, risiko fraud wajib menjadi perhatian auditor dalam tahap perencanaan sampai dengan penyelesaian audit.

Terlebih lagi pada pekerjaan audit selalu ada risiko audit, yaitu kondisi yang tidak menggembirakan (fraud internal atau perbuatan melawan hukum lainnya) terjadi setelah auditor selesai melakukan auditnya. Salah satu sebab risiko audit adalah karena adanya asimetri informasi. Klien atau pihak yang teraudit pasti lebih tahu informasi yang sebenarnya dan lebih tahu kelemahan unit kerjanya sehingga klien bisa memilah dan memilih mana informasi yang bisa diberikan (menyembunyikan informasi) kepada auditee (klien).

Selain itu, klien lebih tahu praktik dan pembiaran korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). KKN terjadi karena cohesiveness di dalam kelompok dan organisasinya yang hal ini menurut istilah manajemen disebut groupthink. Persoalan lain adalah bagaimana auditor dapat menjaga independensi dan objektifnya atau profesional skeptis. Hal ini sangat terkait bagaimana kualitas tata kelola organisasi antara lain peran dan tanggung jawab yang efektif dari dewan komisaris dan komite audit.

Pada sisi regulasi adalah bagaimana pengenaan sanksi dan penegakan hukum kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab pada skandal fraud korporasi. Pada skandal akuntansi, bagaimana risiko hukum yang harus dipikul akuntan publik dan manajemen sebagai penanggung jawab laporan keuangan.

Menurut BBC, ternyata skandal akuntansi yang melibatkan the big four terjadi cedera atau pelanggaran aspek independensi. Retensi akuntan publik dalam waktu lama oleh organisasi menyebabkan gangguan independensi yaitu rasa nyaman di kedua pihak. Rasa nyaman itu juga yang menyebabkan organisasi kembali memilih akuntan publik lama setelah masa jeda berakhir. Tidak ada yang salah, namun auditor independen wajib menjaga marwah profesinya. Pencederaan atau pelanggaran atas standar biasanya atau seharusnya ditemukan oleh pemerintah lebih dini atau jangan-jangan lebih dahulu terjadi kepailitan dan gugatan yang membuka adanya megafraud.

Audit intern adalah profesi yang bertanggung jawab membantu manajemen dan dewan komisaris mengelola dan mengawasi organisasi mencapai tujuan, visi, dan misinya. Untuk itu, auditor intern memberikan assurance dan combined assurance atas governance, risk, dan control. Fraud dan pelanggaran hukum termasuk risiko yang harus diantisipasi oleh auditor intern.

Penulis: Diaz Priantara, Board of IIA Indonesia; Anggota IAI, IAPI; Dosen Universitas Mercu Buana

Tulisan ini sudah dimuat sebelumnya di Warta Ekonomi (http://wartaekonomi.co.id/read144260/sudah-ada-auditor-kenapa-terjadi-fraud.html) pada Selasa, 13 Juni 2017.

 

Subscribe to our newsletter

IIA Indonesia